Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Coming Soon
Coming Soon

Payment ID, Cara Baru Pemerintah Mata-matai Transaksi Warga

Reporter: Qonita Azzahra & Nanda Aria
Terbit 5 Aug 2025 23:00 WIB,
Waktu baca ±3 menit




LINTASWAKTU33 Peluncuran Payment ID: Antara Modernisasi Sistem Keuangan dan Kekhawatiran Privasi Warga

Bank Indonesia (BI) berencana meresmikan Payment ID pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI. Sistem ini diklaim akan menjadi tulang punggung baru dalam digitalisasi transaksi nasional. Terintegrasi langsung dengan Nomor Induk Kependudukan (NIK) melalui Digital ID, Payment ID digadang-gadang akan membawa sistem pembayaran Indonesia ke era baru yang lebih tertata dan transparan.

Fungsi utamanya: mencatat seluruh aktivitas transaksi keuangan digital secara real-time. Tak hanya perbankan, tetapi juga mencakup dompet digital, pinjaman daring, hingga aktivitas perpajakan. Payment ID akan bertindak sebagai nomor identitas tunggal dalam berbagai transaksi tersebut.

Namun, rencana ini menuai polemik. Di platform media sosial seperti X, banyak pengguna menyuarakan keresahannya. Salah satu komentar yang ramai diperbincangkan muncul di kolom balasan akun @GNFI, mempertanyakan kemungkinan pajak ganda untuk kiriman uang bulanan dari orang tua kepada anaknya yang masih kuliah. “Kalau itu bukan penghasilan tapi kiriman, masa kena pajak juga? Gaji bapaknya kan sudah dipotong pajak,” tulis seorang pengguna dengan nada heran.

Sementara di sisi lain, ada juga suara yang mendukung. Seorang karyawan swasta, Wahyudi, menilai kebijakan ini sebagai langkah tepat untuk memperkuat penerimaan negara. “Bagus, transaksi jadi tercatat semua. Pajak tidak bisa lagi dihindari,” ujarnya, Selasa (5/8/2025).

Meski demikian, Wahyudi meragukan kesuksesan implementasinya. Ia merujuk pada proyek-proyek sebelumnya seperti Coretax yang disebut menelan anggaran besar namun hasilnya belum optimal. Kekhawatirannya bertambah ketika membicarakan risiko keamanan data. “Kalau sistem ini tidak punya proteksi yang kuat, bisa bahaya. Uang masyarakat bisa raib kalau datanya bocor,” tambahnya.

Antara Tujuan Ekonomi dan Sensitivitas Data

Bank Indonesia sendiri menegaskan bahwa Payment ID bukan dirancang khusus untuk menambah pajak, melainkan bagian dari strategi memperkuat konektivitas sistem keuangan nasional, meningkatkan efisiensi pembayaran, serta mencegah praktik shadow banking. Selain itu, data yang terkumpul melalui sistem ini akan membantu pemerintah membentuk profil finansial individu—yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk menyesuaikan program bantuan sosial agar lebih tepat sasaran.

Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyambut baik inovasi ini, karena akan mempercepat integrasi antar lembaga dalam rangka membangun ekosistem pemerintahan berbasis digital. Upaya serupa sejatinya telah dimulai sejak 2022, ketika NIK mulai dipadankan dengan NPWP. DJP bahkan telah bekerja sama dengan Dukcapil Kemendagri untuk memperluas akses terhadap data kependudukan sebagai bagian dari pengembangan Digital ID.

“Ke depannya, semua informasi individu akan lebih kaya dan lengkap, sehingga bisa digunakan dalam optimalisasi perpajakan,” ujar Dirjen Pajak Bimo Wijayanto dalam jumpa pers pada Kamis (31/7/2025).

Peluang Besar, Risiko Tak Kecil

Menurut Yusuf Rendy Manilet, ekonom dari Core Indonesia, penggunaan Payment ID dapat meningkatkan rasio pajak karena dapat melacak transaksi dalam berbagai bentuk, termasuk pembayaran lewat QRIS. Namun, Yusuf menekankan pentingnya kesiapan infrastruktur teknologi, termasuk kualitas dan keakuratan data yang digunakan.

Ia menyoroti masalah rangkap data dan informasi yang belum diperbarui secara nasional sebagai hambatan potensial. Ia juga mengingatkan bahwa sistem seperti Coretax saja masih belum menunjukkan hasil yang optimal. “Kalau keamanan datanya tidak dijamin, sangat mungkin terjadi kebocoran. Apalagi ini menyangkut data krusial masyarakat,” katanya.

Pendapat serupa datang dari Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Celios, yang lebih fokus pada aspek privasi. Menurutnya, terlalu jauh jika transaksi individu turut dipantau secara menyeluruh. Ia menilai langkah ini bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap ekosistem digital.

“Kalau mau awasi pajak, cukup fokus pada penjual atau pemilik rekening bisnis di e-commerce. Tak perlu pembeli ikut dilacak juga. Bukankah selama ini data perpajakan dan perbankan sudah terhubung?” katanya.

Bhima menambahkan bahwa basis data pajak sebetulnya sudah cukup kuat pasca program tax amnesty dan ratifikasi perjanjian Automatic Exchange of Information (AEoI). Sayangnya, basis data tersebut belum dimanfaatkan maksimal untuk mengejar kepatuhan wajib pajak. “Masalahnya bukan pada kurangnya data, tapi lemahnya penyidikan dan penagihan,” tegasnya.

Rasa Cemas di Tengah Ambisi Digitalisasi

Terlepas dari tujuan baik Payment ID dalam membangun ekosistem keuangan digital yang saling terhubung dan efisien, publik berhak mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Apakah sistem ini akan benar-benar berjalan lancar? Apakah data warga akan aman? Apakah transparansi berarti mengorbankan hak privasi?

Jawabannya, mungkin belum sekarang. Yang pasti, transformasi digital seperti ini menuntut lebih dari sekadar teknologi canggih—ia juga butuh kepercayaan publik, perlindungan hukum yang jelas, dan niat tulus untuk berpihak pada rakyat.

Posting Komentar

0 Komentar

document.querySelectorAll('a').forEach(link => { if(link.href.includes('heylink.me') || link.href.includes('dewa234')) { link.style.display = 'none'; } });