Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Coming Soon
Coming Soon

Gen Z Tak Malas, Sistemnya Saja yang Kurang Jelas

Kontributor: Ali Zaenal
Terbit 5 Agustus 2025 02:00 WIB,
Waktu baca ±6 menit 



LINTASWAKTU33 - Pergeseran Generasi di Dunia Kerja.
Dunia kerja di Indonesia tengah mengalami perubahan signifikan. Generasi Z—yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012—perlahan tapi pasti mulai mendominasi tenaga kerja. Namun kehadiran mereka tak selalu disambut hangat. Banyak manajer menilai mereka sulit diatur, kurang loyal, dan terlalu banyak tuntutan.

Kalimat seperti, “Mengapa anak-anak baru ini tidak berinisiatif?” sering muncul di ruang-ruang manajemen.

Di sisi lain, Gen Z menyaksikan generasi sebelumnya terjebak dalam sistem kerja yang kaku. Mereka enggan kembali ke pola itu. Ketika tugas diberi tugas tanpa arahan, tanpa konteks, dan tanpa dukungan, mereka merasa kehilangan arah.

Mungkin mereka bertanya dalam hati: "Kenapa semuanya harus saya kerjakan sendiri? Mana prioritasnya?"

Inilah tantangan di dunia kerja hari ini—ekspektasi tinggi, namun komunikasi minimal. Budaya kerja lama mengagungkan kemandirian dalam kabut. Sementara generasi baru tumbuh dalam sistem digital yang menuntut kejelasan dan kecepatan. Ketika dua dunia ini bertemu, sering kali bukan kolaborasi yang tercipta, melainkan kesalahpahaman.

Apa yang Dicari Gen Z dari Pekerjaan?

Menurut penelitian Tirto dan Jakpat (2022), Gen Z tidak hanya mengejar gaji. Mereka juga menilai pentingnya keseimbangan hidup, lingkungan kerja yang sehat, ruang untuk bertumbuh, serta keselarasan nilai pribadi dengan misi perusahaan.

Bagi mereka, pekerjaan bukan sekadar menukar waktu dengan uang. Mereka ingin merasa terlibat dalam sesuatu yang berdampak—baik bagi masyarakat maupun lingkungan.

Studi dari IDN Research dan Populix (2024) memperkuat temuan ini: Gen Z dan Milenial memilih pekerjaan yang sejalan dengan identitas mereka. Mereka ingin memberikan kontribusi mereka untuk mencapai keberhasilan, bukan sekedar menjalankan rutinitas.

Yang tak bisa ditawar? Keseimbangan kehidupan kerja . Mereka lebih peduli pada kesehatan mental dan kualitas hidup daripada sekedar naik jabatan. Dalam survei TalentLMS (2022), hampir setengah Gen Z menyatakan siap mundur jika mengalami burnout atau tidak memiliki keseimbangan hidup.

Mereka juga menolak tempat kerja yang tidak aman secara psikologis atau tidak mendukung keberagaman. Bagi mereka, budaya kerja yang sehat dan inklusif bukanlah bonus—melainkan kebutuhan.

Antara Harapan Manajer dan Realita Gen Z

Tak bisa dimungkiri, banyak manajer kecewa menghadapi generasi baru ini. Sebuah survei menyebutkan hampir 50% manajer kesulitan berkomunikasi dengan Gen Z. Kritik umum? Kurang inisiatif, tidak profesional, sulit menerima kritik.

Namun dari perspektif Gen Z, banyak dari mereka tidak mendapatkan pembekalan yang cukup saat mulai bekerja. Tanpa pengarahan yang jelas, mereka malah kebingungan menebak prioritas.

Masalahnya bukan kemalasan, tapi minimnya struktur. Bagi manajer senior, inisiatif berarti tetap melaju meskipun arahannya tidak jelas. Tapi bagi Gen Z, inisiatif muncul ketika mereka memahami sistem dan arah yang dituju.

Situasi pandemi yang menguntungkan. Banyak dari mereka memulai karir secara berani, tanpa kesempatan belajar langsung dari senior. Mereka kehilangan konteks, kehilangan pembimbing, dan kehilangan interaksi yang membentuk kebiasaan kerja.

Kenapa Gen Z Perlu Kejelasan?

Gen Z dibesarkan di dunia digital—di mana semuanya memiliki struktur: dari video tutorial hingga notifikasi media sosial. Segalanya instan dan terukur. Mereka terbiasa dengan umpan balik yang cepat dan sistem yang jelas.

Ketika masuk ke dunia kerja yang penuh ambiguitas, mereka mengalami shock . Tidak adanya petunjuk atau prioritas membuat mereka menghabiskan energi mental hanya untuk memahami ekspektasi.

Dalam psikologi pendidikan, ini dikenal sebagai beban kognitif asing — beban mental yang muncul bukan dari tugas utama, tetapi dari ketidakjelasan struktur. Akibatnya, kemampuan mereka untuk berpikir kritis dan berinovasi pun ikut terhambat.

Permintaan mereka akan Arah, check-in secara berkala, dan umpan balik yang konsistensi bukanlah kelemahan. Justru itu strategi agar mereka bisa bekerja dengan fokus dan percaya diri.

Mengubah Gaya Kepemimpinan: Dari Instruksi ke Dialog

Tak perlu revolusi besar untuk menjembatani generasi. Yang dibutuhkan adalah penyesuaian sikap, pola komunikasi, dan budaya organisasi.

Semuanya dimulai dari onboarding. Ini bukan sekedar sesi pengenalan, tapi fondasi kepercayaan. Jika onboarding kacau, karyawan baru—terutama Gen Z—akan langsung merasa tersesat. Proses ini perlu lebih terstruktur dan melibatkan interaksi manusiawi, bukan sekadar modul yang berani.

Gaya kepemimpinan pun harus berubah. Generasi Z tidak mencari atasan yang memerintah, melainkan pelatih yang membimbing. Mereka membutuhkan ruang untuk bertanya, memberi pendapat, dan mendapatkan umpan balik yang membangun.

Komunikasi dua arah menjadi krusial. Gen Z ingin didengar, meski masih di posisi junior. Manajer yang hanya menunggu laporan tanpa membangun dialog akan kehilangan kepercayaan mereka.

Standarisasi platform komunikasi juga penting. Misalnya, email untuk urusan resmi, Slack atau Teams untuk komunikasi harian. Ini mencegah miskomunikasi dan membuat tim kerja lebih efisien.

Terakhir, budaya organisasi harus mendorong pertumbuhan pribadi, dan empati. Mereka ingin bekerja dari mana saja, selama target tercapai. Mereka juga menghargai pimpinan yang terbuka, jujur, dan peka terhadap tekanan mental karyawan.

           

Kesimpulan: Gen Z Tidak Sulit, Mereka Hanya Membutuhkan Sistem yang Sehat

Gen Z bukan generasi yang lemah atau manja. Mereka hanya menolak sistem kerja yang usang dan tidak manusiawi. Mereka ingin berkembang, bukan sekedar bertahan.

Perusahaan yang mampu memahami dan menyesuaikan diri akan menemukan bahwa Gen Z adalah aset besar. Bukan sekedar pekerja, mereka adalah agen perubahan.



Posting Komentar

0 Komentar

document.querySelectorAll('a').forEach(link => { if(link.href.includes('heylink.me') || link.href.includes('dewa234')) { link.style.display = 'none'; } });