Rasio pembayaran utang Indonesia, yang mencakup pokok dan bunga, kini mencapai 45 persen dari pendapatan negara. Angka tersebut melampaui ambang batas aman sebesar 30 persen.
Kontributor: LintasWaktu33
Terbit 20 Agustus 2025 17:25 WIB
Waktu baca ±2 menit
LINTASWAKTU33 - Sejumlah ekonom menilai pengelolaan utang pemerintah ke depan perlu diwaspadai. Dalam RAPBN 2026, pemerintah berencana menarik utang baru senilai Rp781,9 triliun—terbesar dalam lima tahun terakhir.
Utang tersebut disebut sebagai instrumen kebijakan untuk memperdalam pasar keuangan domestik agar lebih inklusif dan efisien. Pemerintah menegaskan penarikan dilakukan secara hati-hati dan terkendali.
Namun, kewajiban yang harus dibayar jauh lebih besar. Tahun 2026, utang jatuh tempo pemerintah diperkirakan mencapai Rp800 triliun. Beban bunga juga melonjak menjadi Rp599,44 triliun, naik dibandingkan perkiraan 2025 sebesar Rp552,15 triliun, dan jauh lebih tinggi dari 2021 yang hanya Rp343,49 triliun.
Peneliti CSIS, Deni Friawan, menilai kondisi ini menunjukkan pola gali lubang tutup lubang. Pada 2024, misalnya, 80 persen dari utang baru habis untuk membayar bunga. Menurutnya, hal ini mempersempit ruang fiskal dan bisa menghambat program-program pembangunan.
Sementara itu, Presiden Prabowo tetap menekankan janji politiknya yang menelan ratusan triliun dari APBN, mulai dari program makan bergizi gratis, ketahanan energi, pangan, hingga pembangunan rumah rakyat.
Dengan batas defisit maksimal 3 persen PDB, Deni menilai pemerintah akan menghadapi dilema. Beberapa pos belanja seperti transfer ke daerah dan perlindungan sosial kemungkinan besar ikut tertekan.
“Jika penerimaan negara tak meningkat signifikan, tren utang baru akan terus berlanjut sepanjang pemerintahan Prabowo,” ujarnya.
0 Komentar