FITRA menekankan bahwa penambahan anggaran semestinya didasarkan pada capaian kinerja yang jelas dan terukur, bukan hanya karena adanya peningkatan jumlah kursi di parlemen.
Kontributor: LintasWaktu33
Terbit 24 Agustus 2025 14:55 WIB
Waktu baca ±5 menit
LINTASWAKTU33 - Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menyoroti lonjakan anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam beberapa tahun terakhir. Berdasarkan Buku II Nota Keuangan 2026, DPR memperoleh alokasi sebesar Rp9,9 triliun, tidak jauh berbeda dengan tahun 2025 yang mencapai Rp9,964,7 triliun.
Di dalam DIPA 2025, pos gaji dan tunjangan untuk 580 anggota DPR mencapai lebih dari Rp1,6 triliun. Jika dihitung rata-rata, setiap legislator mendapatkan sekitar Rp2,8 miliar per tahun, atau lebih dari Rp230 juta setiap bulannya.
Peneliti FITRA, Bernard Allvitro, menyebut jumlah tersebut sangat kontras dengan penghasilan masyarakat umum yang mereka wakili. Ia menilai, bukannya memberikan contoh dengan menahan diri, DPR justru tetap mempertahankan berbagai bentuk privilese.
FITRA menilai bahwa dalam tiga tahun terakhir, alokasi gaji dan tunjangan DPR yang konsisten berada di atas Rp1 triliun telah menjadikan fungsi perwakilan cenderung membebani keuangan negara.
Situasi ini dinilai kontras, sebab ketika pemerintah menerapkan efisiensi besar-besaran pada 2024 dan 2025, anggota DPR justru menikmati tunjangan perumahan hingga Rp50 juta per bulan untuk setiap orang.
Peneliti FITRA, Bernard Allvitro, menyebut kondisi tersebut menunjukkan rendahnya kepekaan DPR terhadap krisis serta kurangnya empati pada keterbatasan fiskal negara.
Kontroversi semakin mencuat setelah kebijakan pemberian tunjangan rumah tambahan sebesar Rp50 juta per bulan resmi diberlakukan bagi anggota DPR periode 2024–2029.
Berdasarkan surat Sekretariat Jenderal DPR Nomor B/733/RT.01/09/2024, setiap anggota dewan mendapatkan hak atas tunjangan rumah. Ketentuan ini membuat total penghasilan bulanan mereka melonjak menjadi lebih dari Rp100 juta.
Dengan jumlah 580 anggota, anggaran yang harus disiapkan negara untuk membayar tunjangan tersebut mencapai sekitar Rp29 miliar setiap bulan, atau kurang lebih Rp1,74 triliun selama satu periode jabatan lima tahun. Kebijakan ini menuai sorotan publik karena dianggap terlalu berlebihan.
Alasan resmi yang disampaikan DPR adalah tunjangan rumah diberikan agar anggota dapat tinggal di sekitar kompleks parlemen. Namun, kritikan muncul lantaran tingkat kehadiran dalam rapat masih sering rendah.
Ketentuan mengenai gaji pokok dan tunjangan DPR telah lama diatur, antara lain melalui Surat Edaran Sekretaris Jenderal DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, Surat Menteri Keuangan No. S-520/MK.02/2015, dan Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2000.
Bila dilihat dari gaji pokok saja, penghasilan anggota DPR sebenarnya tidak jauh berbeda dengan pegawai negeri sipil golongan menengah. Namun, jumlahnya meningkat tajam setelah ditambah berbagai tunjangan, seperti tunjangan jabatan, tunjangan kehormatan, tunjangan komunikasi intensif, serta fasilitas tambahan berupa uang sidang, asisten pribadi, biaya listrik, telepon, hingga tunjangan beras. Rangkaian fasilitas ini membuat rata-rata pendapatan bulanan anggota DPR berada di kisaran Rp55–66 juta.
Selain itu, setiap tahun anggota DPR juga memperoleh anggaran reses yang cukup besar. Berdasarkan DIPA Petikan DPR RI, pada periode 2023–2025 pagu anggaran reses mencapai rata-rata Rp2,4 triliun. Jika dibagi untuk 580 anggota, maka setiap orang bisa menerima sekitar Rp4,2 miliar per tahun. Dana ini dimaksudkan untuk mendukung kegiatan penyerapan aspirasi masyarakat di daerah pemilihan masing-masing.
Dengan dukungan fasilitas dan anggaran sebesar itu, DPR semestinya dapat memastikan aspirasi masyarakat benar-benar tersampaikan dalam setiap rapat kerja dan pembahasan kebijakan.
Namun, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) menilai peningkatan anggaran DPR sebaiknya ditinjau ulang. Menurut FITRA, besarnya dana yang digelontorkan perlu selaras dengan kebutuhan nyata serta kinerja yang dapat diukur, bukan sekadar bertambah akibat penambahan jumlah kursi.
FITRA juga menegaskan agar DPR menghentikan penambahan fasilitas baru yang justru menambah beban APBN. Mereka mengusulkan agar skema gaji dan tunjangan dikaitkan langsung dengan kinerja serta kedisiplinan anggota, sekaligus menghapus pos belanja yang dianggap berlebihan dan tidak memberikan manfaat langsung bagi masyarakat.