Eksodus Besar-besaran Pekerja Kamboja dari Thailand Guncang Kedua Negara


LINTASWAKTU33

Ta Thavy, seorang buruh migran asal Kamboja, sudah diliputi rasa cemas berhari-hari sejak pecahnya bentrokan militer di perbatasan Thailand–Kamboja pada akhir Juli 2025.

Konflik perbatasan yang sudah lama menjadi bara itu akhirnya meledak menjadi pertempuran paling berdarah dalam beberapa dekade terakhir. Sedikitnya 43 nyawa melayang, sementara ratusan ribu warga terpaksa meninggalkan rumah mereka untuk mencari tempat aman.

Rasa takut yang semakin mencekam akhirnya membuat ribuan pekerja migran asal Kamboja di Thailand, termasuk Ta Thavy dan suaminya, memilih pulang ke kampung halaman. Padahal, mereka sudah lebih dari satu dekade menetap di Bangkok tanpa dokumen resmi. Kepulangan itu bukan tanpa risiko—biaya mahal dan perjalanan panjang menghadang—namun serangan di daerah tempat tinggal pekerja migran menghapus semua keraguan.

"Sekitar pukul lima sore, tiga pria Thailand dalam kondisi mabuk datang. Salah satunya, yang kami kenal karena juga bekerja di proyek konstruksi yang sama, membawa pisau lalu menyerang," kata Ta saat diwawancarai media.

Suaminya mengalami luka di bagian tangan dan punggung. Pada hari berikutnya, keduanya memutuskan bergerak dalam gelap menuju perbatasan.

Kisah Ta bukanlah kasus tunggal. Organisasi Migrant Working Group memperkirakan hingga dua juta pekerja migran Kamboja meninggalkan Thailand hanya dalam hitungan minggu. Sementara itu, Khun Tharo, manajer program di CENTRAL—sebuah lembaga advokasi hak pekerja di Phnom Penh—menyebut eksodus besar-besaran itu sebagai kejadian yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah.

Kekurangan bagi Thailand, Kelebihan bagi Kamboja

Gelombang kepulangan pekerja migran membawa dampak ganda: Thailand menghadapi defisit tenaga kerja, sementara Kamboja harus menanggung tambahan angka kemiskinan.

Sebelum pecahnya konflik, lebih dari 520.000 warga Kamboja bekerja di Thailand—sekitar 12 persen dari total pekerja migran di negara itu. Mereka berperan penting di sektor konstruksi, perkebunan, industri makanan, hingga perikanan. Data dari lembaga internasional menunjukkan bahwa kontribusi pekerja migran terhadap perekonomian Thailand berada di kisaran 4 hingga 7 persen dari PDB.

Kini, banyak pabrik, lahan pertanian, serta proyek infrastruktur terhambat akibat kekurangan tenaga kerja. Pemerintah Thailand berusaha menutup celah tersebut dengan mendatangkan pekerja dari Sri Lanka, Nepal, Bangladesh, Indonesia, dan Filipina. Namun, para pengamat menilai strategi darurat ini minim perencanaan, sarat tantangan integrasi, dan berpotensi menimbulkan terjadinya masalah sosial.

“Ketergantungan terhadap buruh migran sangat besar, dan tanpa mereka dampak ekonominya akan segera terasa,” kata Nilim Baruah, pakar migrasi tenaga kerja dari ILO.

Nasionalisme dan Ujaran Kebencian

Ketegangan semakin diperburuk dengan meningkatnya sentimen nasionalis di Thailand. Pekerja migran sering dijadikan sasaran kemarahan masyarakat atas kondisi ekonomi, meskipun menyadari mereka mengisi pekerjaan yang umumnya tidak diminati tenaga kerja lokal.

“Ketika kontribusi ekonomi para migran tidak langsung dirasakan masyarakat, rasa kecewa cenderung diarahkan kepada mereka, bukan kepada sistem yang ada,” jelas Roisai Wongsuban dari Migrant Working Group.

Di sisi lain, kebencian dan disinformasi menyebar dengan cepat melalui media sosial, menyasar komunitas Kamboja, termasuk anak-anak.

“Isu ini sebenarnya bukan hal baru, tapi perang membuat situasi semakin parah. Begitu kebencian menyebar di dunia maya, sangat sulit untuk membendungnya,” ujar Jomtien Jansomrag dari Raks Thai Foundation.

Utang Menupuk, Pekerjaan Tak Menentu

Kepulangan besar-besaran justru menambah rumit persoalan sosial-ekonomi di Kamboja. Banyak pekerja migran kembali dalam kondisi terlilit utang. Menurut penelitian Kamboja Development Resource Institute (CDRI), sekitar 31 persen keluarga yang memiliki anggota yang bekerja di luar negeri memegang pinjaman rata-rata sekitar 5.000 dolar AS. Kiriman uang yang sebelumnya mereka dapatkan bahkan tidak cukup untuk menutup bunga pinjaman.

CDRI juga memperingatkan, tingkat kemiskinan di kalangan rumah tangga migran berpotensi melonjak hingga 50 persen bila para pekerja kembali tanpa pekerjaan yang jelas. Pemerintah Kamboja memang mengumumkan ketersediaan 190.000 tenaga kerja, namun sebagian besar ada di sektor manufaktur dengan keterampilan teknis posisi tertentu—sesuatu yang tidak memiliki banyak pekerja yang kembali dari Thailand.

“Ketidakpastian kerja bisa menjadi tekanan besar, dan tidak sedikit yang akhirnya mendorong untuk kembali bermigrasi secara ilegal,” ungkap Khun Tharo.

Jalan Panjang Menuju Rekonsiliasi

Baik Thailand maupun Kamboja kini berusaha mencari jalan keluar dari krisis. Pihak yang berwenang di Thailand melonggarkan aturan agar pekerja migran asal Kamboja bisa berpindah majikan tanpa harus pulang terlebih dahulu, sementara di Phnom Penh, pemerintah mendapat desakan untuk menyiapkan paket bantuan, menunda cicilan mikrofinansial, serta jaminan perlindungan sosial dasar.

Meski begitu, para pengamat menilai penyelesaian masalah tidak akan mudah. Perbatasan darat masih tertutup, proses hukum internasional atas penyelesaian wilayah bisa berlangsung bertahun-tahun, dan luka sosial yang ditinggalkan konflik tidak bisa cepat pulih.

“Banyak pekerja migran mengalami trauma yang mendalam. Mungkin membutuhkan waktu satu generasi penuh untuk memulihkan hubungan antara masyarakat Thailand dan Kamboja,” ungkap Roisai.

Bagi Ta Thavy, harapannya jauh lebih sederhana.
“Aku hanya ingin hidup damai, seperti dulu,” ucapnya pelan. “Tanpa perang, tanpa ketakutan.”

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama