Viral Struk Restoran Tagih Royalti Musik dan Lagu Rp 29 Ribu, Pengunjung Kaget!
.png)
LINTASWAKTU33
Sebuah video yang beredar di media sosial sukses menyita perhatian publik, khususnya bagi mereka yang gemar makan di luar atau nongkrong di kafe
Video tersebut menampilkan seorang pria yang tampak terkejut saat memeriksa struk restoran
Bukan karena total tagihannya yang fantastis, melainkan karena ada satu item yang sangat tidak biasa: "Royalti musik dan lagu" senilai Rp 29.140.
Dalam rekaman yang viral, pria tersebut menyorot detail struk pembayaran dengan total subtotal mencapai Rp 614.000
Di antara daftar pesanan makanan dan minuman seperti Bebek Manis, Rendang Sapi, hingga Es Dawet Durian, terselip satu baris tagihan yang membuat banyak orang mengernyitkan dahi
Pria dalam video itu terdengar memberikan semacam peringatan atau nasihat kepada penontonnya, mengisyaratkan agar lebih teliti di kemudian hari. "BESOK-BESOK KALAU MISALKAN," ucapnya dalam video tersebut, seolah ingin berbagi pengalaman tak terduga yang baru saja ia alami
Sontak, video ini memicu perdebatan hangat di kalangan warganet
Banyak yang ikut kaget dan bertanya-tanya mengenai legalitas penagihan royalti musik langsung kepada konsumen.
Apakah ini praktik yang dibenarkan? Mengapa pengunjung harus menanggung biaya untuk musik yang diputar di sebuah tempat usaha
Aturan Hukum Mengenai Royalti Musik di Area Komersial
Ternyata, penagihan biaya royalti untuk pemutaran musik di tempat usaha komersial seperti restoran, kafe, hotel, atau bahkan supermarket bukanlah hal yang mengada-ada
Praktik ini memiliki dasar hukum yang kuat dan diatur oleh negara.
Dasar hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
Dalam UU tersebut, disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan penggunaan komersial atas sebuah karya, termasuk lagu dan/atau musik, wajib meminta izin kepada pencipta atau pemegang hak cipta dan membayarkan imbalan atau royalti.
Untuk mengelola penarikan dan pendistribusian royalti ini, pemerintah telah membentuk Lembaga Manajemen Kolektif Nasional LMKN adalah lembaga yang berwenang untuk menarik, menghimpun, dan mendistribusikan royalti dari para pengguna komersial kepada para pencipta lagu, penyanyi, dan produser rekaman yang karyanya digunakan.
Jadi, secara hukum, setiap pemilik usaha yang memutar musik untuk menunjang kegiatan bisnisnya memang berkewajiban membayar royalti kepada LMKN
Tarifnya pun bervariasi, tergantung pada jenis usaha dan luas area yang menggunakan musik tersebut.
Kontroversi Pembebanan Langsung ke Konsumen
Meski kewajiban membayar royalti bagi pengusaha adalah sah, yang menjadi perdebatan dari kasus viral ini adalah metode pembebanannya.
Pada umumnya, biaya royalti musik dianggap sebagai biaya operasional (operational cost) oleh pemilik usaha, sama seperti biaya listrik, air, sewa tempat, atau gaji karyawan
Biaya-biaya ini biasanya sudah diperhitungkan dan dimasukkan ke dalam harga jual makanan dan minuman secara implisit.
Praktik mencantumkan "Royalti musik dan lagu" sebagai item terpisah dalam struk pelanggan adalah sebuah langkah yang sangat tidak lazim.
Inilah yang membuat pengunjung tersebut dan banyak warganet lainnya merasa terkejut. Langkah ini bisa diartikan sebagai upaya transparansi dari pihak restoran, namun di sisi lain juga bisa dianggap sebagai cara untuk membebankan biaya operasional secara langsung kepada konsumen
Kejadian ini menjadi pengingat dan edukasi publik bahwa menikmati alunan musik di sebuah kafe atau restoran ternyata memiliki nilai ekonomi yang harus dibayarkan untuk menghargai para kreatornya.
Namun, cara penyampaian biaya tersebut kepada pelanggan menjadi kunci yang membedakan antara informasi transparan dan tagihan yang mengejutkan.
0 Komentar