Waktu baca : 3 menit
LINTASWAKTU33 - Kekosongan, Kreativitas, dan Peran Alat DigitalDulu, buku dikenal sebagai jendela dunia. Lewat halaman-halamannya, pembaca bisa menjelajahi beragam wawasan, membayangkan dunia lain, atau menemukan inspirasi baru. Kini, peran itu sebagian besar telah berpindah ke mesin pencari seperti Google. Setiap kali kita butuh informasi, Google jadi rujukan utama. Dari berita terkini hingga ide kreatif, segalanya bisa ditemukan dalam hitungan detik.
Namun, sebuah penelitian dari Daniel Oppenheimer dan Mark Patterson di Carnegie Mellon University memberikan sudut pandang yang mengejutkan. Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Memory & Cognition (2025), mereka menunjukkan bahwa akses internet justru bisa menghambat proses kreatif.
Dalam eksperimen tersebut, dua kelompok partisipan diberi tugas kreatif. Satu kelompok bebas mengakses internet, sedangkan yang lain tidak. Hasilnya? Kelompok yang bekerja tanpa bantuan online menghasilkan gagasan yang lebih beragam, lebih unik, dan lebih efektif.
Fenomena ini berkaitan dengan konsep cognitive fixation: kecenderungan otak untuk terpaku pada ide-ide yang sudah ada. Saat kita mencari inspirasi melalui Google, kita tak sadar terjebak dalam pola-pola yang umum ditemukan. Meskipun tidak meniru secara langsung, kita kerap menyerap dan mereplikasi struktur yang sudah populer. Akibatnya, kreativitas kita menjadi terbatas pada apa yang sudah dikenal, bukan pada apa yang mungkin diciptakan.
Temuan ini bukan sesuatu yang baru. Penelitian serupa oleh Oliva & Storm (2023) telah menunjukkan bahwa akses internet dalam tugas creative thinking justru menurunkan jumlah ide orisinal. Informasi yang cepat dan mudah memang mempercepat proses berpikir, tapi juga bisa menjadi jebakan yang menghalangi eksplorasi mendalam.
Oppenheimer dan Patterson menyimpulkan bahwa Google sangat berguna untuk aktivitas berpikir konvergen—misalnya mencari fakta atau data. Tapi dalam konteks pekerjaan kreatif yang menuntut pemikiran divergen, terlalu cepat mengandalkan mesin pencari justru bisa menjadi penghambat.
AI dan "Ilusi" Inovasi
Setelah Google, kini muncul alat-alat berbasis AI seperti ChatGPT, Copilot, dan Gemini. Mereka bukan hanya menyediakan informasi, tapi juga menghasilkan konten utuh: dari puisi, iklan, hingga skenario film. Sekilas, ini tampak seperti revolusi dalam kreativitas.
Namun, studi yang dipublikasikan oleh PsyPost pada Mei 2025 menunjukkan bahwa manusia masih unggul dalam hal berpikir divergen. Ketika diminta menyebutkan berbagai kegunaan alternatif dari benda sehari-hari, manusia consistently mengalahkan AI dari segi jumlah, kebaruan, dan keberagaman ide.
Masalah utama AI adalah ketergantungannya pada pola. Mesin seperti ChatGPT tidak mencipta dari kekosongan, melainkan menyusun berdasarkan kemungkinan tertinggi dari data masa lalu. Fenomena ini disebut generative stagnation: output yang tampak segar, tapi sejatinya hanya daur ulang dari contoh-contoh sebelumnya.
Dalam meta-analisis internasional, AI terbukti tidak lebih unggul dari manusia dalam hal kreativitas orisinal (g = –0,05). Bahkan, ketika manusia berkolaborasi dengan AI, jumlah output meningkat, tapi keragaman ide justru menurun drastis (g = –0,86). AI cocok sebagai pendukung, bukan sebagai pemicu ide utama.
Zhang dan timnya (2025) juga mencatat bahwa meski AI menunjukkan performa baik dalam tes divergensi, kualitas ide yang muncul tetap belum bisa menandingi kreativitas manusia yang otentik.
Google + AI = Duet Penjinak Imajinasi?
Kombinasi antara Google dan AI menciptakan situasi baru: satu menyodorkan jawaban dominan dari internet, satu lagi mengolahnya agar terdengar seolah baru. Ketika keduanya digunakan di awal proses kreatif, yang lahir bukan inovasi, melainkan repackaging dari apa yang sudah ada.
Studi lanjutan dari Wharton menunjukkan bahwa ide-ide yang dihasilkan dari kolaborasi dengan AI memiliki variasi jauh lebih rendah daripada ide yang muncul dari proses kreatif manual tanpa bantuan teknologi.
Kreativitas Dimulai dari Kekosongan
Segala ciptaan besar lahir dari kekosongan—bukan dari hasil pencarian, tapi dari ruang hening tempat ide bisa tumbuh bebas. Dalam penelitian Oppenheimer & Patterson, kelompok tanpa internet menciptakan ide yang lebih hidup dan orisinal karena mereka tidak terikat pada solusi yang sudah tersedia.
Penelitian Oliva & Storm juga memperkuat hal ini. Saat peserta mencari inspirasi lewat Google, mereka cenderung menghasilkan ide-ide yang sangat mirip dengan apa yang sudah ditemukan. Sebaliknya, ketika mereka diminta memikirkan ide tanpa bantuan digital, gagasan yang muncul lebih liar, eksentrik, dan berbeda.
Kesimpulan: Gunakan Alat, Tapi Jangan Dimulai dari Sana
Google dan AI bukan musuh. Mereka adalah alat yang sangat bermanfaat—di waktu yang tepat. Tapi jika proses kreatif dimulai dari pencarian, yang lahir adalah jawaban orang lain. Jika dimulai dari diam, dari ruang kosong dalam pikiran, maka ada peluang lahirnya ide yang benar-benar milik kita.
Mulailah dengan kekosongan. Biarkan imajinasi berkelana tanpa batasan. Setelah itu, barulah kita manfaatkan teknologi untuk memperkuat atau menyempurnakan apa yang telah kita temukan sendiri.
0 Komentar