Sistem pengaturan pemerintah yang berlaku kini justru mendorong perbedaan di kalangan guru melalui pembagian kelas atau golongan status.
Kontributor: LintasWaktu33
Terbit 26 Agustus 2025 16:25 WIB
Waktu baca ±8 menit
LINTASWAKTU33 - Isu mengenai kesejahteraan guru kembali mencuat menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia. Perdebatan ini salah satunya dipicu oleh pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, saat membuka Konvensi Sains, Teknologi, dan Industri (KSTI) Indonesia pada Kamis (7/8/2025).
Dalam kesempatan itu, Sri Mulyani—yang akrab disapa Ani—menyinggung tantangan fiskal negara dalam pembiayaan guru dan dosen. Ia juga mempertanyakan, apakah persoalan tersebut sepenuhnya harus ditanggung oleh keuangan negara, atau justru perlu ada keterlibatan masyarakat untuk membantu mengatasinya.
Belakangan ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menambah alokasi anggaran pendidikan untuk guru, dosen, dan tenaga kependidikan. Jumlahnya naik dari Rp178,7 triliun menjadi Rp274,7 triliun dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Namun, besaran itu dinilai belum menjangkau semua lapisan guru, sebab anggarannya masih harus dibagi dengan dosen serta tenaga pendidikan lainnya.
Secara keseluruhan, RAPBN 2026 menetapkan anggaran pendidikan sebesar Rp757,8 triliun, angka yang disebut-sebut sebagai yang terbesar sepanjang sejarah. Kendati demikian, porsi bagi guru dianggap belum menjadi prioritas utama. Sebaliknya, program unggulan Presiden Prabowo, yaitu Makan Bergizi Gratis (MBG), justru menyerap alokasi terbesar dalam pos pendidikan 2026, yakni mencapai Rp223 triliun.
Berbagai program pemerintah berupa tunjangan, insentif, maupun bantuan untuk guru kerap dipersepsikan sekadar sebagai “hadiah” atau “kado”. Istilah tersebut mencerminkan belum adanya keseriusan dalam membangun tata kelola kesejahteraan guru secara menyeluruh. Faktanya, masih banyak guru yang menerima gaji rendah dan jauh dari standar layak. Beban kerja yang sama sering kali tidak diimbangi dengan perlakuan yang setara, sementara lemahnya sistem tata kelola membuat guru terpecah ke dalam beragam kategori dan golongan.
Upah Tak Layak
Hasil survei Lembaga Riset Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) bersama GREAT Edunesia Dompet Dhuafa pada 2024 menunjukkan bahwa sebagian besar guru di Indonesia masih menerima gaji di bawah Rp2 juta per bulan. Riset daring ini melibatkan 403 guru dari 25 provinsi, terdiri atas 123 guru PNS, 118 guru tetap yayasan, 117 guru honorer atau kontrak, serta 45 guru dengan status PPPK.
Sebagian besar responden mengaku pendapatan yang mereka terima tidak mencukupi untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Menariknya, sebanyak 66,6 persen responden telah mengajar lebih dari lima tahun. Data ini memperlihatkan bahwa meskipun kesejahteraan mereka masih jauh dari layak, banyak guru tetap berkomitmen melanjutkan pengabdian sebagai pendidik.
Sebanyak 42,4 persen guru dari berbagai kategori menyatakan menerima gaji di bawah Rp2 juta per bulan. Kondisi ini membuat banyak guru terpaksa mencari pekerjaan tambahan untuk menutup kebutuhan sehari-hari. Realitas tersebut bertolak belakang dengan Pasal 40 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang menegaskan hak guru untuk memperoleh penghasilan serta jaminan kesejahteraan sosial yang layak.
Hal serupa juga ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal 14 Ayat 1 menyebutkan bahwa guru berhak atas penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum serta jaminan kesejahteraan sosial. Yang dimaksud dengan kebutuhan hidup minimum adalah pendapatan yang mampu memenuhi kebutuhan dasar guru beserta keluarganya, mencakup sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, rekreasi, hingga jaminan hari tua.
Namun, pelaksanaan dari ketentuan hukum tersebut masih jauh dari harapan. Kebijakan dan tata kelola yang berlaku justru membuat posisi guru terfragmentasi berdasarkan status dan golongan. Mereka yang berstatus ASN atau guru tetap di sekolah swasta unggulan relatif memperoleh penghasilan lebih baik, terutama jika memiliki sertifikasi pendidik.
Sebaliknya, guru honorer, kontrak, non-ASN, atau yang belum mengantongi sertifikasi, masih menghadapi kesenjangan besar dalam hal penghasilan maupun jaminan kesejahteraan. Situasi ini menimbulkan ketidakadilan yang berlarut-larut di tengah pentingnya peran guru dalam membangun kualitas pendidikan nasional.
Pada tahun anggaran 2026 mendatang, Persatuan Guru Seluruh Indonesia (PGSI) mendorong pemerintah untuk kembali membuka program penyetaraan atau inpassing sebagaimana diamanatkan Pasal 16 Ayat (2) UU Guru dan Dosen. Jika program ini tidak dijalankan, maka sama saja pemerintah mengabaikan regulasi yang sudah berlaku, ujar Ketua Dewan Kehormatan PB PGSI, Suparman Marzuki Nahali.
Nahali menuturkan, mayoritas guru swasta yang tergabung di PGSI mengajar di sekolah dan madrasah swasta yang siswanya berasal dari keluarga dengan kemampuan ekonomi menengah ke bawah. Dengan kondisi tersebut, guru seringkali hanya menerima gaji antara Rp500 ribu hingga Rp2 juta per bulan dari yayasan pengelola sekolah.
“Bahkan ada yang masih digaji di bawah Rp500 ribu per bulan. Karena itu, banyak guru akhirnya mencari tambahan penghasilan di luar profesi, seperti berdagang atau pekerjaan sampingan lainnya,” ungkapnya.
Persoalan tata kelola guru yang belum rapi ini membuat profesi pendidik masih jauh dari kata sejahtera. Fragmentasi status guru semakin memperlebar jurang kesenjangan, di mana guru honorer atau kontrak masih tercecer dari jaminan kesejahteraan yang seharusnya menjadi hak mereka. Ditambah dengan masalah distribusi guru dan kesenjangan kualitas, wajah pendidikan Indonesia masih menghadapi tantangan besar yang belum terselesaikan.