LINTASWAKTU33 - Kecanduan Video Pendek: Dampaknya Terhadap Otak dan Pengambilan Keputusan
Pernahkah kamu membuka TikTok atau Reels hanya untuk menonton “satu video saja”, lalu tanpa terasa waktu berlalu hingga satu atau dua jam? Kalau iya, kamu tidak sendirian. Fenomena ini umum terjadi dan bukan kebetulan—platform video pendek memang sengaja dirancang agar pengguna terus menonton tanpa henti.
Namun, yang sering luput disadari adalah bahwa kebiasaan ini bisa berkembang menjadi suatu bentuk kecanduan, dikenal sebagai Short-Video Addiction (SVA). Seperti halnya kecanduan lainnya, SVA membawa dampak serius—bukan hanya menyita waktu, tapi juga memengaruhi cara kerja otak, terutama dalam proses pengambilan keputusan.
Otak yang Terbiasa Mengejar Kepuasan Instan
Kecanduan terhadap video pendek tidak sekadar soal kesenangan sesaat. Studi terbaru menunjukkan bahwa SVA dapat melemahkan kemampuan seseorang dalam mempertimbangkan risiko jangka panjang. Mereka yang mengalami kecanduan cenderung menjadi lebih impulsif dan berani mengambil keputusan berisiko, walau tahu potensi kerugiannya tinggi.
Salah satu konsep kunci yang terpengaruh dalam kondisi ini adalah loss aversion—sebuah mekanisme psikologis yang membuat manusia secara alami menghindari kerugian. Dalam keadaan normal, kehilangan Rp50.000 terasa lebih menyakitkan dibanding rasa senang saat memperoleh jumlah yang sama. Namun, pada individu dengan kecanduan video pendek, mekanisme ini cenderung melemah.
Penelitian dari jurnal NeuroImage (2025) menunjukkan bahwa pengguna yang memiliki tingkat kecanduan tinggi terhadap video pendek memperlihatkan penurunan sensitivitas terhadap kerugian. Mereka lebih fokus pada potensi “untung” tanpa benar-benar memikirkan konsekuensi negatif yang mungkin timbul. Hal ini serupa dengan pola pikir pada pecandu judi dan alkohol.
Model Otak dan Keputusan Impulsif
Dalam eksperimen simulasi perjudian, partisipan dengan kecanduan video pendek menunjukkan kecenderungan membuat keputusan dengan cepat dan minim pertimbangan. Dengan menggunakan metode drift-diffusion, peneliti mendapati bahwa mereka mengakumulasi informasi lebih cepat, tetapi dengan kualitas pertimbangan yang lebih rendah.
Artinya, otak mereka bergerak lebih cepat dalam memilih, namun tidak memberi cukup waktu untuk mengevaluasi resiko. Pola ini konsisten dengan temuan pada kecanduan lain seperti judi, di mana individu terus berharap “menang besar” dan cenderung menutup mata terhadap potensi kerugian.
Ketika Dampaknya Masuk ke Dunia Nyata
Dampak dari SVA tidak berhenti di layar ponsel. Ia merembes ke kehidupan sehari-hari. Kebiasaan menonton hingga larut malam menyebabkan kurang tidur, yang tentu berimbas pada produktivitas dan kesehatan mental.
Lebih dari itu, otak yang terbiasa mendapatkan gratifikasi instan akan kesulitan menunda kepuasan. Hal ini bisa berdampak pada keputusan penting dalam hidup—dari menunda pekerjaan atau tugas akademik, hingga pemborosan karena belanja impulsif.
Bahkan, dalam beberapa kasus, pola perilaku ini membuka celah bagi bentuk kecanduan lain seperti belanja berlebihan, judi online, atau penyalahgunaan zat. Ketika otak mulai mengutamakan “nikmati sekarang, pikir nanti”, risiko menjadi sesuatu yang diremehkan.
Apa yang Bisa Dilakukan?
Menghadapi tantangan ini, perlu adanya pendekatan dari berbagai sisi. Salah satunya adalah literasi digital—terutama untuk generasi muda. Edukasi tidak cukup hanya melarang penggunaan ponsel terlalu lama, tetapi juga harus menjelaskan bagaimana algoritma bekerja dan mengapa kita bisa terjebak dalam siklus konsumsi konten pendek.
Selain itu, pendekatan psikologis seperti pelatihan kendali diri (self-regulation) juga terbukti membantu. Pelatihan ini mengajarkan individu untuk mengelola dorongan dan lebih sadar terhadap dampak jangka panjang dari keputusan yang diambil secara impulsif.
Dari sisi teknologi, beberapa pengembang mulai menguji fitur yang mendorong refleksi diri, seperti jeda paksa setelah waktu tertentu atau notifikasi pengingat. Fitur-fitur ini dapat membantu pengguna mengambil jeda dan mempertimbangkan kembali tindakan mereka.
Namun, yang terpenting adalah riset jangka panjang. Sebagian besar studi yang ada saat ini hanya menunjukkan korelasi, belum kausalitas. Apakah kebiasaan menonton video pendek yang mengubah otak, atau justru sebaliknya? Jawaban ini hanya bisa ditemukan lewat penelitian longitudinal.
Kesimpulan
Di balik hiburan singkat berdurasi 30 detik, tersembunyi risiko psikologis yang nyata. Kecanduan video pendek bukan sekadar soal kebiasaan buruk, tetapi potensi bahaya yang memengaruhi cara kita berpikir, merasa, dan mengambil keputusan. Maka, sudah saatnya kita menyadari bahwa menjaga kesehatan mental di era digital memerlukan kesadaran, edukasi, dan kebijakan yang menyeluruh—bukan hanya dari pengguna, tetapi juga dari pembuat teknologi.
0 Komentar