LINTASWAKTU33 Presiden Prabowo Subianto melakukan pendekatan yang menarik saat menerima kunjungan Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, di Istana Merdeka pada Kamis (23/10/2025). Dalam pertemuan tersebut, Prabowo menyampaikan niatnya untuk memasukkan bahasa Portugis sebagai salah satu prioritas baru dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Menyanggapi rencana itu, pendidik sekaligus sejarah Sumardiansyah Perdana Kusuma berpendapat bahwa kebijakan tersebut sebaiknya dikaji secara mendalam terlebih dahulu agar tidak berhenti hanya sebagai simbol kerja sama atau wacana politik semata.
Sumardiansyah menjelaskan bahwa pernyataan Presiden Prabowo dalam pidatonya sebaiknya tidak dimaknai secara harfiah. Menurutnya, konteks dari pernyataan tersebut lebih condong pada diplomasi politik dan upaya mempererat hubungan bilateral dengan Brasil.
“Pernyataan Prabowo itu tidak bisa diartikan secara leterlek, melainkan sebagai bentuk basa-basi persahabatan untuk memperkuat hubungan antarnegara,” ujarnya, dikutip Senin (27/10/2025).
Ia menambahkan bahwa keinginan tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yakni kebijakan pendidikan dan hubungan diplomasi internasional . Dari sisi kebijakan, menjadikan bahasa Portugis sebagai bagian dari kurikulum bukan hal sederhana. Diperlukan kajian mendalam mengenai kurikulum, bahan ajar, serta kesiapan tenaga pendidik yang memiliki kompetensi pada bidang tersebut.
“Kalau ingin menjadikan bahasa Portugis sebagai pelajaran wajib, perlu ada kajian menyeluruh—mulai dari kurikulum, bahan terbuka, hingga ketersediaan pengajar yang benar-benar menguasainya,” tutur Sumardiansyah.
Ia juga menilai bahwa rencana tersebut merupakan langkah strategis dalam diplomasi, sebagaimana penguasaan bahasa Tiongkok untuk kepentingan ekonomi atau bahasa Arab karena mayoritas masyarakat Indonesia beragama Islam.
Pahami Niat Prabowo
Sumardiansyah menilai, rencana Presiden Prabowo untuk memperkenalkan bahasa Portugis dalam dunia pendidikan tidak hanya berkaitan dengan diplomasi, tetapi juga memiliki visi yang lebih luas terhadap pengembangan sumber daya manusia Indonesia.
Menurutnya, Prabowo ingin mendorong generasi muda agar mampu menjadi poliglot , yakni individu yang menguasai lebih dari dua bahasa asing sebagai bekal bersaing di era global.
“Presiden sepertinya ingin mendorong generasi muda agar siap menghadapi tantangan global dengan kemampuan bahasa yang lebih luas,” ujar Sumardiansyah.
Ia menambahkan bahwa gagasan tersebut bisa menjadi momentum untuk memperkuat eksistensi jurusan bahasa di sekolah menengah dan perguruan tinggi Indonesia, yang selama ini masih kurang diminati dibandingkan jurusan IPA dan IPS.
“Penguasaan bahasa asing telah membuka banyak kesempatan, termasuk beasiswa luar negeri. Misalnya, negara-negara berbahasa Portugis seperti Brasil dan Portugal juga menawarkan peluang pendidikan bagi pelajar Indonesia,” jelasnya.
Namun Sumardiansyah menekankan bahwa penerapan kebijakan bahasa Portugis sebaiknya dilakukan secara merata , tidak seragam di seluruh Indonesia. Ia menyarankan agar bahasa Portugis difokuskan pada wilayah yang memiliki keterkaitan sejarah dan budaya dengan Portugis.
“Bahasa Portugis sebaiknya tidak diterapkan secara nasional, melainkan diprioritaskan di daerah yang memiliki relevansi sejarah, seperti kawasan Indonesia Timur. Misalnya, di Atambua, bahasa Tetum memiliki akar kuat dari bahasa Portugis,” tutupnya.
Rekonsiliasi Historis
Sumardiansyah menjelaskan bahwa secara historis, Portugis memiliki pengaruh yang kuat di wilayah timur Nusantara seperti Maluku dan Nusa Tenggara Timur . Pengaruhnya tidak hanya terekam dalam sejarah kolonial, namun juga masih tampak pada warisan budaya yang hidup hingga kini.
Ia mencontohkan jejak budaya Portugis yang masih terlihat di Kampung Tugu, Jakarta , tempat di mana keturunan Portugis atau kaum Mardjiker menetap. Mereka merupakan komunitas Katolik yang dahulu dibebaskan dari pengasingan oleh pihak Belanda yang beragama Protestan.
Menurutnya, pengajaran bahasa Portugis dapat dikembangkan secara terarah dan kontekstual di daerah-daerah yang memiliki hubungan sejarah dan budaya dengan bahasa Portugis. Namun keberhasilan kebijakan ini sangat bergantung pada kesiapan tenaga pendidik, ketersediaan bahan terbuka, serta desain kurikulum yang matang.
“Sebaiknya bahasa Portugis diajarkan di wilayah yang memiliki hubungan historis dengan Portugis. Penerapannya bisa dilakukan melalui program intrakurikuler, kokurikuler, atau ekstrakurikuler, jaminan guru, bahan ajar, dan kurikulumnya siap,” jelas Sumardiansyah.
Ia menambahkan, di luar aspek pendidikan, kebijakan ini juga dapat menjadi jembatan rekonsiliasi sejarah antara kedua negara. Menurutnya, hubungan panjang antara Indonesia dan Portugis yang diterjemahkan dengan pertukaran budaya dan sejarah kolonial dapat dimaknai ulang dalam semangat kerja yang sama modern.
“Pertautan sejarah dan budaya antara Indonesia dan Portugis bisa menjadi dasar untuk membangun diplomasi kebudayaan yang lebih kuat di masa kini. Ini adalah bentuk rekonsiliasi sejarah yang bernilai bagi kedua bangsa,” tutupnya.
