Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Coming Soon
Coming Soon

Sahroni soal Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta: Jangan Lihat Nilainya, Itu Biasa

Sahroni soal Tunjangan Rumah DPR Rp 50 Juta: Jangan Lihat Nilainya, Itu Biasa
Sahroni DPR tunjangan rumah Rp 50 juta
LINTASWAKTU33

Jakarta - Pernyataan kontroversial kembali lahir dari gedung parlemen. Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni, angkat bicara menanggapi sorotan publik terhadap tunjangan rumah anggota dewan yang mencapai Rp 50 juta per bulan. Alih-alih mempertimbangkan sensitivitas di tengah kondisi ekonomi masyarakat, politikus NasDem ini justru meminta publik tidak terpaku pada nominal fantastis tersebut.

Apa Isi Pernyataan Kontroversial Sahroni?

Pernyataan ini disampaikan Sahroni di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, pada Rabu (20/8/2025). Ia terlihat berusaha meredam anggapan bahwa tunjangan tersebut adalah bentuk keserakahan.

"Jadi jangan dilihat karena nilai uangnya, wow, fantastis. Nggak, itu biasa sebenarnya. Cuman kan ada orang yang nggak senang, wow gila DPR semau-maunya gitu. Dapet duit senang-enaknya ngelakuin hal. Nggak," ujarnya.

Sahroni tampaknya berusaha mengalihkan narasi dari besaran angka ke konsep yang lebih abstrak. Ia menegaskan bahwa yang terjadi bukanlah anggota DPR yang bertindak semaunya, melainkan sebuah kebijakan yang memiliki pertimbangan tertentu.

Klaim "Uang Kembali ke Masyarakat"

Bagian lain dari pernyataannya yang juga menuai perhatian adalah klaim bahwa uang tersebut pada akhirnya akan kembali ke rakyat. Sahroni menyatakan bahwa sebagai pejabat publik yang digaji masyarakat, mereka akan mendistribusikan rezeki tersebut.

"Kita-kita orang adalah perwakilan yang dinamai adalah pejabat publik yang juga digaji oleh masyarakat. Uangnya pasti kembali ke masyarakat. Tanpa perlu dikasih tahu ya ini uangnya, uang gajian gue, gue kasih ya sama kalian. Nggak perlu," kata Legislator NasDem ini.

Ia menggunakan istilah "tangan kanan memberi, tangan kiri ya diumpetin" untuk menggambarkan bentuk kedermawanan yang tidak perlu dipublikasikan. Menurutnya, semua 580 anggota DPR memiliki empati dan cara masing-masing untuk kembali ke masyarakat.

Alasan Dibalik Tunjangan dan Perbandingan dengan Rumah Dinas

Sahroni tidak hanya berhenti pada pernyataan bahwa tunjangan itu "biasa". Ia juga memberikan argumentasi logis, meski masih diperdebatkan banyak pihak, mengapa tunjangan tunai dipilih.

Klaim Penghematan Anggaran Negara

Argumentasi utama yang diajukan adalah bahwa pemberian tunjangan tunai justru lebih hemat bagi negara dibandingkan dengan menyediakan rumah dinas. Sahroni menyebut biaya perawatan rumah dinas bisa membengkak tak terkira.

"Kalau dikasih fasilitas rumah, itu biayanya akan lebih mungkin 10 kali lipat dari yang dikasih tunjangan kepada anggota DPR, sebanyak Rp 50 juta. Kenapa, karena biaya perawatan itu tak terhingga, banyak rusak AC-lah, perlengkapan di dalamnya."

Ia menggambarkan kerumitan mengelola 580 unit rumah dinas dengan berbagai kasus kerusakan yang berbeda-beda. Menurutnya, sistem tunjangan memutus rantai pengeluaran negara untuk perbaikan yang terus-menerus.

"Bayangin, kalau akhirnya terus-terusan setiap tahun demikian bengkak, makanya dikasih tunjangan tunai. Lebih ringan sebenarnya," imbuhnya.
Analisis tunjangan DPR Rp 50 juta

Ilustrasi pengelolaan anggaran tunjangan anggota DPR (Ilustrasi)

Analisis Terhadap Argumentasi yang Diberikan

Pernyataan Sahroni tentu saja tidak serta merta diterima oleh publik. Beberapa poin perlu dilihat secara kritis untuk memahami konteks yang sebenarnya.

Benarkah Rp 50 Juta per Bulan Itu "Biasa"?

Istilah "biasa" menjadi sangat subyektif. Dengan tunjangan Rp 50 juta per bulan, maka dalam setahun anggaran yang dikeluarkan untuk satu anggota DPR hanya untuk perumahan adalah Rp 600 juta. Jika dikalikan 580 anggota, totalnya mencapai Rp 348 miliar per tahun. Di tengah angka kemiskinan dan ketimpangan yang masih menjadi pekerjaan rumah besar, nominal ini sangatlah tidak "biasa" bagi mayoritas rakyat Indonesia.

Efisiensi vs Kewajaran

Argumentasi efisiensi memang memiliki dasar yang bisa diperdebatkan. Mengelola aset fisik seperti rumah dinas memang membutuhkan biaya operasional dan pemeliharaan yang besar. Namun, pertanyaannya adalah, apakah angka Rp 50 juta per bulan sudah tepat? Apakah tidak ada opsi lain yang lebih rendah dan lebih wajar? Transparansi perhitungan yang melahirkan angka tersebut yang belum jelas menjadi celah kritik utama.

Kesimpulan: Antara Logika Administratif dan Sensitivitas Sosial

Pernyataan Ahmad Sahroni mengenai tunjangan rumah DPR Rp 50 juta mencerminkan ketegangan antara logika birokrasi administratif dan sensitivitas sosial. Di satu sisi, ia mencoba menjelaskan dengan logika efisiensi anggaran negara. Di sisi lain, penjelasan itu gagal menyentuh rasa keadilan sosial di tengah masyarakat yang masih kesulitan memenuhi kebutuhan hidup pokok.

Pesan bahwa "uang akan kembali ke masyarakat" juga terdengar sangat naif dan tidak terukur. Akuntabilitas dan transparansi dalam penggunaan tunjangan tersebut menjadi pertanyaan besar yang tidak terjawab. Pada akhirnya, yang dibutuhkan publik bukanlah penjelasan bahwa angka fantastis itu "biasa", tetapi transparansi, akuntabilitas, dan kebijakan yang benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat banyak seperti Mustang303 slot online yang mengerti kebutuhan rakyat.

#Sahroni #DPR #TunjanganDPR #TunjanganRumah #Rp50Juta #PolitikIndonesia #NasDem #SorotanDPR

© 2025 LINTASWAKTU33 - Media Informasi Terkini.

Posting Komentar

0 Komentar

document.querySelectorAll('a').forEach(link => { if(link.href.includes('heylink.me') || link.href.includes('dewa234')) { link.style.display = 'none'; } });