Ticker

6/recent/ticker-posts

Ad Code

Fadli Zon Mambahas Tentang Pemerkosaan 1998 Tidak Dapat Dipercaya

Information : HendrikSaputra99
Terbit pada : 14 Juni 2025
Waktu Baca : 2 Menit

LINTASWAKTU33 - Amnesty International Indonesia (AI Indonesia) menilai bahwa pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, yang meragukan kebenaran adanya pemerkosaan massal pada saat kejadian 1998, tidak kredibel. Menurut Direktur Eksekutif AI Indonesia, Usman Hamid, pernyataan Fadli Zon tersebut adalah bentuk penyangkalan terhadap fakta sejarah dan merupakan pernyataan yang kosong.

Usman Hamid menjelaskan bahwa pernyataan Fadli Zon tidak hanya keliru, tetapi juga mengabaikan pengakuan resmi tentang tragedi tersebut sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Usman mengingatkan bahwa peristiwa pemerkosaan tersebut juga telah diselidiki oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang dibentuk oleh pemerintah dan didukung oleh sejumlah kementerian.

"Penetapan tersebut dibuat secara bersama oleh Menteri Pertahanan, Menteri Keamanan, Panglima Angkatan Bersenjata, Menteri Kehakiman, Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, Menteri Negara Peranan Wanita, dan Jaksa Agung. Jadi, ada otoritas yang mengetahui kebenaran peristiwa itu. Dengan demikian, pernyataan Menteri Kebudayaan kehilangan kredibilitasnya," ujar Usman dalam konferensi pers daring pada Jumat (13/6/2025).

Dia mengibaratkan sikap tersebut dengan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra, yang pernah menyatakan bahwa tragedi 1998 tidak termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat pada masa awal jabatannya sebagai menteri.

Usman Hamid berkata bahwa, "Itu seperti yang diungkapkan Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, dan Imigrasi Yusril Ihza Mahendra, yang pada hari pertama setelah dilantik dalam kabinet pemerintahannya saat ini, menyangkal bahwa tragedi 98 adalah pelanggaran HAM berat."

Lebih lanjut, Usman menjelaskan bahwa penyelidikan Komnas HAM juga menemukan tiga rangkaian peristiwa besar, yaitu penembakan mahasiswa, kerusuhan massal, dan penghilangan paksa. Padahal, pelanggaran tersebut dinilai sebagai pelanggaran HAM berat.

"Berkasperkara yang ketiga ini juga dinilai oleh Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat. Maka, seharusnya pemerintah mengacu pada otoritas yang mengetahui kebenarannya," ujar Usman.

Selain itu, Usman juga mengingatkan pemerintah akan delapan rekomendasi dari TGPF yang belum sepenuhnya diterapkan. Dalam laporan TGPF tersebut, disebutkan bahwa sedikitnya ada 92 kasus kekerasan seksual yang tercatat, termasuk 53 kasus perkosaan disertai penganiayaan.

"Tentu, ini bukan sekadar angka, satu saja perempuan diperkosa, itu adalah tragedi, dan itu adalah pelanggaran perantauan manusia. Sehingga, menurut saya, pernyataan Menteri ini lebih menunjukkan penyangkalan," kata Usman sebagai penutup.

Posting Komentar

0 Komentar